Sunday, April 26, 2015
Tet tet tet! Bel sekolah berbunyi. Sudah waktunya pulang. Begitu pula
dengan Salma, murid kelas tiga di Sekolah Dasar Garuda. Hari ini Salma ingin
cepat-cepat sampai di rumah.
Salma berjalan menuju rumahnya dengan gembira. Rambutnya yang dikuncir
dua, turun naik mengikuti langkah kakinya.
“Na na na na na....” Begitu Salma bernyanyi sambil menggendong tas
merahnya.
Setibanya di rumah, Salma mencium tangan bunda. Bunda sudah rapi dengan
dompet di tangannya.
“Bunda mau ke pasar, ya? Salma ikut ya Bunda,” pinta Salma.
“Iya. Tapi Salma ganti baju dulu ya,” jawab Bunda.
Salma mengangguk dengan cepat.
Sesampainya di gerbang pasar, Salma melihat banyak pedagang kaki lima
yang menjual berbagai macam buah. Salma dan Bunda masuk ke dalam melewati
sebuah gang. Di dalam pasar, toko-toko berjejer rapi. Ada yang menjual baju,
sepatu, buku, tas, dan mainan. Salma dan Bunda masuk ke toko sepatu yang cukup
besar.
“Bunda, Salma suka yang ini sama yang itu.” Salma memperlihatkan dua
pasang sepatu pilihannya.
“Wah, bagus-bagus pilihan Salma. Coba pilih satu yang paling Salma suka
ya.” Jawab Bunda sambil tersenyum.
“Tapi Salma mau dua-duanya, Bunda….” Salma mulai merengek.
Salma selalu seperti itu. Kalau sudah ada yang diinginkan, harus
dituruti.
Bunda mulai kewalahan membujuk Salma. “Sepatu Salma di rumah kan sudah
ada dua. Kalau tambah dua lagi, nanti malah nggak terpakai. Sayang kan jadinya.”
Tiba-tiba ada dua kakak beradik masuk ke toko yang sama. Mereka masih
menggunakan seragam sekolah. Warnanya putih merah. Sama seperti punya Salma di
rumah. Namun, pakaian mereka terlihat kusam. Dan ada satu hal yang menarik
perhatian Salma. Sepatu mereka tampak sobek di beberapa bagian.
“Bu, sandal yang ini berapa harganya?” Anak yang lebih besar bertanya
pada penjaga toko.
“Empat puluh lima ribu, dek,” jawab Ibu penjaga toko.
“Bisa kurang nggak Bu? Uang saya tidak cukup….”
Tawar-menawar terus dilakukan hingga menemukan harga yang disepakati
bersama. Anak itu mengeluarkan sebuah plastik berisi uang koin. Salma menduga
uang itu hasil tabungan mereka.
Sambil membungkus sandal tadi, Ibu penjaga toko bertanya. “Buat siapa
sendalnya, Dik?”
Anak yang lebih besar menjawab. “Buat Ibu saya di rumah. Ibu saya
sendalnya sudah putus dan ditambal berkali-kali. Hari ini Ibu saya ulang tahun.
Saya mau Ibu saya pakai sandal bagus, bu.”
Sementara itu, anak yang lebih kecil menatap sedih ke deretan sepatu
sekolah. Kakaknya membelai kepala adiknya itu. “Sabar ya, Dik. Nanti kalau
tabungan kita sudah cukup lagi, kita beli sepatu baru ya!”
Ucapan sang kakak membuat Salma sangat sedih. Ia sadar, selama ini tidak
pernah berusaha sedikit pun untuk mendapat yang ia butuhkan.
“Bunda, maafin Salma ya….” Salma memeluk Bundanya.
Bunda yang dari tadi menyaksikan hal yang sama, sangat mengerti yang
dirasakan Salma.
“Salma jadi mau beli dua sepatu tadi?” Bisik Bunda menggoda Salma.
“Enggak Bunda. Sepatu Salma masih bagus-bagus. Tapi…. Bunda mau nggak
beliin sepatu buat adik itu?” Tanya Salma hati-hati.
“Bener nih, sepatunya mau dikasih ke adik itu?” Bunda meyakinkan Salma.
“Benar Bunda.” Jawab Salma mantap.
Kedua kakak beradik itu sangat senang dan berterimakasih. Mereka tidak
menduga akan memiliki sepatu baru yang bagus.
Hari ini Salma merasa sangat
bahagia. Bukan karena memiliki sepatu baru seperti yang dinantikannya. Tapi bahagia
karena berbagi dengan orang lain. Salma mendapat pelajaran berharga dari kakak
beradik itu.
“Terimakasih, Bunda. Salma sayang banget sama Bunda…” Ucap Salma sambil
memandangi kakak beradik yang dengan gembira menenteng sepatu barunya.
Saturday, January 03, 2015
Betapa leganya mendengar kabarmu lagi
Setelah tahun-tahun yang kuhabiskan untuk bersembunyi
Bagaimana pun aku harusnya senang kau ada di sana
Setidaknya kau tak kan melihatku terpuruk
Mati berkali-kali bersama harapan tentangmu
Jahatnya aku yang malah hampir saja menyerah mendoakanmu
Padahal kau, di sana dengan setiap inci kekuatanmu berjuang, tak lelah
Anehnya justru aku yang seolah paling lemah
Sungguh, maafkan aku yang hampir saja tak kuat menggenggam lagi mimpiku
Melawan kenyataan yang semakin berjauhan
Setelah tahun-tahun yang kuhabiskan untuk bersembunyi
Bagaimana pun aku harusnya senang kau ada di sana
Setidaknya kau tak kan melihatku terpuruk
Mati berkali-kali bersama harapan tentangmu
Jahatnya aku yang malah hampir saja menyerah mendoakanmu
Padahal kau, di sana dengan setiap inci kekuatanmu berjuang, tak lelah
Anehnya justru aku yang seolah paling lemah
Sungguh, maafkan aku yang hampir saja tak kuat menggenggam lagi mimpiku
Melawan kenyataan yang semakin berjauhan
Bagaimana bisa kau tak menangis?
Tolong menangislah! Buat aku tak merasa meringis sendirian
Tapi kau terlalu lelah untuk lemah, terlalu lelah untuk menyerah
Ajari aku untuk tetap sekuat itu
Friday, January 02, 2015
Izinkan aku memulai perjalanan ini
Mengawali hari dengan berpura-pura menjadi dewasa
Atau mungkin memang seharusnya terbiasa
Izinkan aku menjemput rindu yang tak tahu malu ini
Menerjang derasnya hampa yang terbiasa tanpa mimpi
Atau hanya muak berdiam di balik nadi
Sampaikan murka tiada terperi
Izinkan aku menenangkan hati sebentar lagi
Mengurusnya, berucap damai dengannya
Mungkin harusnya tak sulit,
Tapi kenyataan ini membuat semuanya pahit
Izinkan aku tak memikirkan diri sendiri kali ini
Menggapai kebahagiaan untuknya, yang terlalu biasa tersakiti
Atau mungkin aku, sudah tak tahan lagi tersenyum palsu menertawai
Entah apa, mungkin hanya sebongkah gengsi
Tapi, izinkan aku sekali ini meneteskan air mata lagi
Untuk hari-hari kelam yang ku paksa ceriakan
Untuk goresan luka yang membusuk terabaikan
Biarkan aku menangis lebih keras lagi
Mengenang tawa yang nyatanya hanya mimpi
Saturday, September 06, 2014
17 Agustus
2014, rakyat Indonesia baru saja memperingati hari proklamasi yang
dikumandangkan 69 tahun yang lalu. Apakah kita benar-benar merayakannya? Atau
malah, belum cukup sebulan peringatan dilangsungkan, semangat kemerdekaan kita
sudah tumbang?
Mungkin saja, upacara tahunan yang biasa kita saksikan di tv tv nasional itu hanyalah hitungan angka belaka!
Tanpa pembaruan, tanpa kemauan untuk berkembang.
Mungkin saja, upacara tahunan yang biasa kita saksikan di tv tv nasional itu hanyalah hitungan angka belaka!
Tanpa pembaruan, tanpa kemauan untuk berkembang.
Subscribe to:
Posts (Atom)